Senin, 31 Agustus 2015

Tentang IPNU


A.    Sekilas kelahiran IPNU, 1954
Pada tahun 1373  Hijriyah  babakan era baru bagi perjalanan generasi muda NU yang tergabung dalam IPNU. Sebelum menggunakan nama IPNU, kegiatan mereka di berbagai tempat bermacam-macam. Sebagian melakukan rutinitas keagamaan, seperti tahlilan, yasinan, diba’/ berjanji, dst. Kelompok pelajar seperti itu lebih banyak ditemui di pesantran-pesantren dan di kampung-kampung. Sebagian lagi, kelompok muda NU mengadakan di Sekolah-Pesantren, Sekolah Umum dan Perguruan Tinggi. Sekalipun tergolong masih kecil jumlahnya.
Pendirian IPNU pada tahun tersebut, bukan tanpa proses. Beberapa kegiatan yang telah disebut  di atas. Sisi lainya adalah dengan melalui musyawarah yang intensif, antara para kyai pesantren, pengurus NU dan lembaga pendidikan Ma’arif NU.  Termasuk yang tak kalah pentingnya adalah kontribusi pemikiran aktivis kaum pelajar NU, lebih khusus di Pesantren atau Sekolah.
Pilihan nama organisasi juga melalui proses. Bukti historis proses tersebut sebagai berikut: beberapa tahun sebelumnya terdapat keragaman nama  bagi perkumpulan pelajar NU, seprti Tsamratul Mustafidin di Surabaya tahun 1936, PERSANO (Persatuan Santri Nahdlotul  Oelama) tahun 1945, Persatuan Murid NU tahun 1945 di Malang, Ijtima-ulth Tholabiyyah tahun 1945 di Madura, ITNO (Ijtimatul Tholabah NO) tahuan 1946 di SUmbawa, PERPENO (Persatuan Pelajar NO) di Kediri 1953, IPINO (IKatan Pelajar NO) dan IPENO  tahun 1954 di Medan, dll.
Mengingat perkumpulan tersebut satu sama lain kurang saling mengenal, karena kelahiran mereka atas inisiatif dan kreatifitas mereka sendiri. Maka, maka dibutuhkan wadah yang sama dan satu induk. Satu hal yang sewarna dan sejalan adalah pijakan pada dasar keyakinan Islam Ahlusunnah Wal jama’ah. Juga atas dasar kebersamaan dan persatuan (ukhwah) sesama umat Islam pemegang tradisi. Karena itu, IPNU merupakan induk dan satu-satunya organisasi NU yang menangani kaum muda NU tingkat pelajar NU, termasuk di Perguruan Tinggi.
Tepat tanggal 24 Pebruari 1954 M. bertepatan dengan 20 Jumadil Akhir 1373 H. di Semarang, pada konferensi besar Ma’arif NU se-Indonesia menyepakati nama IPNU, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama sebagai satu-satunya wadah berhimpun dan berkreasi Pelajar, Mahasiswa, Santri dan remaja baik di Pesantren, Madrasah/sekolah maupun Perguruan Tinggi. Gagasan ini dipelopori oleh Tolhah Mansur ( Fak. Hukum UGM ),  fadlan AGN ( Fisipol UGM ) dari Jatim, Mustahal achmad Masyhud ( Solo ) Sufyan Kholil dan Abdul Ghoni Farida ( Semarang ) yang pada akhirnya dalam Konferensi tersebut Mohammad Tolchah Mansur ditetapkan sebagai ketua ummnya. Gagasan tersebut muncul karena memandang perlunya penyatuan elemen gerak berbagai organisasi pelajar NU dalam satu wadah agar lebih solid. Sejak saat itu, upaya pengembangan cabang terus dilakukan hingga berdiri lima cabang yang dikenal dengan PANCA DAERAH ( Jombang, Solo, Kediri, Semarang dan Yogyakarta )
Menindaklanjuti ketetapan Konbes Ma’arif itu, para pengurus mengadakan konferensi lima daerah; Yogyakarta, Semarang, Surakarta, Jombang dan Kediri. Di Surakarta tanggal 29 April – 1 Mei  1954. putusan-putusan penting pun dihasilkan; selain merumuskan tujuan, PD PRT, juga menetapkan Tolchah  Mansur sebagai ketua umum Pimpinan Pusat IPNU dan menetapkan kota Yogyakarta sebagai kantor pusat organisasi. Mendapat pengakuan resmi sebagai bagian NU pada Muktamar ke 20 di Surabaya, 9-14 September 1954, setelah ketua umum menyampaikan gagasan IPNU dihadapan peserta Muktamar NU.
Untuk memperkokoh organisasi, IPNU melaksanakan Muktamarnya (baca: Kongres) yang pertama pada tanggal 28 Februari 1955 di Malang Jawa Timur. Ikut hadir dalam perhelatan Nasional itu adalah presiden RI Soekarno. Hal ini juga sekaligus pengukuhan IPNU sebagai bagian organisasi pemuda di Indonesia. IPNU pun mulai populer di tengah masyarakat Indonesia. Lebih-lebih, surat kabar dan radio  memberitakan pidato Bung Karno pada Muktamar IPNU tersebut.
Sebagai organisasi pelajar dan terpelajar, beberapa tokoh pendiri IPNU adalah orang-orang yang masih berpendidikan, seperti Mohammad Tolchah Mansur (mahasiswa UGM Yogyakarta), dan Ismail (mahasiswa IAIN Sunan Kalijogo Yogyakarta). Di daerah-daerah juga, para pengurus IPNU saat itu banyak yang dipegang oleh para mahasiswa, seperti Mahbub Djunaedi dan M. Sahal Makmun di Jakarta (mahasiswa UI). Beberapa kader IPNU lainya di Pesantren adalah Abdurrahman Wahid dari Jawa Timur (Ketua Tanfidziyah PBNU 1984-1999) dan Ilyas Ru’yat dari Jawa Barat (Rais ‘Am 1994-1999).


a)      Perjalanan IPNU dari masa ke masa: IPNU Pasca Kongres Jombang 1988 

Perubahan zaman memang tidak bisa dihindari, tetapi dihadapi dan dilaksanakan , pernyataan itu, berlaku untuk siapa dan apa saja, termasuk juga organisasi IPNU. Tahun 1998, saat kongres ke-10 di jombang, IPNU harus menghadapi perubahan zaman. Hal ini cukup berdampak luas bagi keberadaan (eksistensi) IPNU ke depan. Perubahan ini, setidaknya bersumber awal dari UU nomor 8 tahun 1985 yang ‘membabi buta’  dalam penerapan aturan tentang keormasan di Indonesia. Azas dan Nama perubahan, karena tuntutan UU itu, seperti juga pada NU, tapi, hakekatnya tetap, seperti  tujuan, sasaran kelompok dll.
Kependekan nama IPNU dari IKatan Pelajar Nahdlatul Ulama berubah menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama. Bahkan ketika itu, tidak saja perubahan kependekan ‘P’ termasuk dua huruf dilakangnya ( NU) juaga harus dihapuskan. Karena, hal itu dianggap sebagi bawahan ( underbouw) partai tertentu ( ingat, tahun 1950-an NU menjadi partai sendiri ). Syukur Alhamduliilah, pada kongres itu akhirnya diputuskan untuk tetap menjadi IPNU, hanya ‘P’-nya saja berubah ; dari Pelajar menjadi Putra. Hal serupa juga, terjadi pada organisasi pelajar manapun, selain PII, Pelajar Islam Indonesia.
Dengan berubahnya kependekan “P”, berubah pula orientasi dan sasaran binaanya IPNU. Dari pelajar dan Mahasiswa sebagai sasaran utama, berubah untuk dapat membina juga remaja yang tidak sekolah. Dapat disebut, setelah kongres Jombang tahun 1988 hingga Kongres Garut tahun 1996 adalah masa Transisi yang bekepanjangan. Satu misal adalah tidak pernah sampainya pemahaman yang sama tentang orientasi bidang garap IPNU, berikut skala prioritasnya. Pada masa itulah terjadi tarik menarik antara kepentingan politik praktis (politisasi IPNU) dengan prioritas program untuk membenahai warga IPNU sector awal berdirinya IPNU; santri dan pelajar. Hal ini, ternyata berdampak pada proses pengkaderan yang pelan-pelan semakin hilang dari pesantren atau sekolah ma’arif NU.

b)     IPNU kembali ke Khittah 1954: Deklarasi Makasar 2000

Melihat kenyataan IPNU yang masih dalam masa transisi  diatas, maka dalam menyambut millennium ke III, tahun 2000 di Kongres IPNU ke 13 di Makasar, para kader IPNU memunculkan kesadaran bersama (common sense) secara kolektif. Seakan-akan ada hal yang baris telah kembali lagi, yakni sesuatu yang terasa hilang, yakni pada tahun 1988. sesuai deklarasi Makasar 2000 dan hasil Kongres 13, adalah bahwa IPNU kembali pada visi kepelajaran, lalu menumbuh-kembangkan IPNU pada basis perjuangan; Sekolah dan Pondok Pesantren, dan terakhir mengembalikan CBP (Corp Brigade Pembangunan) yang lahir 1965 sebagai kelompok kedisiplinan, kepanduan dan kepecinta alaman. Semua itu dalam rangka mencapai tujuan IPNU, yaitu terbentuknya Pelajar-Pelajar bangsa yang bertaqwa kepada Allah SWT, berilmu, berakhlak muli dan berwawasan kebangsaan, serta bertanggung jawab atas tegak dan terlaksananya syariat  Islam menurut faham Ahlussunnah waljamaah yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

c)      Menegaskan Khittah 1954 pada Kongres XIV 2003 (Surabaya)

Deklarasi Makasar 2000 sebagai tonggak awal mengembalikan IPNU pada orentasi garapan ternyata belum mampu mengakhiri problematika tersebut. Pada Kongres IPNU ke 14 di Surabaya, para kader IPNU memunculkan kesadaran bersama. Kesadaran itu adalah untuk merubah nama dan sekaligus visi kepelajaran dan orientasi pengkaderan IPNU, khususnya di Pesantren dan sekolah-sekolah. Artinya kongres telah mengembalikan IPNU pada garis perjuangan yang semestinya. Secara popular, hal tersebut dikenal dengan nama Khittah 1954. dengan demikian, perlahan tapi pasti, IPNU berkesempatan untuk mengembalikan masa keemasan yang telah hilang, seperti 15 tahun yang lalu. Akan tetapi, kesadaran itu pun sebenarnya rentan, bahaya bila momen itu tidak digunakan dengan sebaik-baiknya dan seoptimal mungkin oleh semua jajaran NU, khususnya IPNU, lebih khusus lagi pesantren (baca: RMI) dan Ma’arif.

Tokoh – tokoh yang pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat IPNU adalah :
1.      Rekan M. Tolhah Mansyur ( 1954 – 1960 )
2.      Rekan Ismail Makki ( 1960 – 1963 )
3.      Rekan Asnawi Latif ( 1960 – 1966 ; 1966 – 1970 )
4.      Rekan Tosari Wijaya
5.      Rekan Zainut Tauhid
6.      Rekan Hilmi Muhammadiyah ( 1996 – 2000 )
7.      Rekan Abdullah Azwar Anas ( 2000 – 2003 )
8.      Rekan Mujtahidurridho ( 2003 – 2006 )
9.      Rekan Idi Muzayyad ( 2006 – 2009 )
10.  Rekan Ahmad Syauqi ( 2009 – 2012 )

B.     Hubungan Ipnu - Ippnu Dan Ormas Lain
Kaitan IPNU - IPPNU dan NU, bahwa IPNU & IPPNU secara organisatoris merupakan badan otonom NU yang resmi tercantum pada Anggaran Rumah Tangga NU pasal 27 poin 6 bagian f, hasil mukatamar NU lirboyo jawa timur yang mana bahwa IPNU & IPPNU mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan badan otonom yang lain.
Hubungan IPNU dengan IPPNU, bahwa IPNU merupakan mitra kerja IPPNU, sedangkan hubungan IPNU & IPPNU dengan ormas lain , bahwa IPNU & IPPNU mempunyai kedudukan yang sejajar dengan ormas yang lain yang tergabung dalam satu wadah pembinaan dan pengembangan generasi muda (KNPI).
C.    Makna Sosiologis dan Strategis IPNU Dilahirkan
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) diidrikan pada tanggal 24 Februari 1954 Masehi yang bertepatan dengan tanggal 20 Jumadil Akhir 1373 Hijriyah. IPNU didirikan pada saat itu merupakan suatu keharusan sejarah, karena di berbagai daerah organisasi pelajar dan santri NU sudah banyak berdiri. Sebut saja Tsamratul Mustafidin di Surabaya tahun 1936, PERSANO (persatuan santri Nahdlotul Oelama) Tahun 1945, Persatuan murid NO tahun 1945 di Malang, Ijtimaut Tholabah Nahdlatul Oelama (ITNO) tahun 1946 di Madura,  PERPENO (Peratuan Pelajar NO ) di Kediri tahun 1953, IPINO ( Ikatan pelajar NO ) dan IPENO Tahun 1954  di Medan, dll). Dengan demikian, ada kebutuhan untuk membentuk organisasi di tingkat nasional yang dapat menyatukan dan merumuskan formulasi kaderisasi bagi pelajar NU serta mendorong pendirian organisasi yang mewadahi pelajar, santri dan mahasisiwa NU di setiap daerah dan bahkan di setiap tingkatan organisasi NU.
Hal yang juga tidak kalah penting adalah pertarungan Ideologi pada saat itu antara Nasionalis, Islam, dan Komunis. Dapat dilihat dalam runutan sejarah NU sebelum masa kemerdekaan, yakni pada masa awal kemerdekaan NU telah membuktikan diri sebagai kelompok strategis dan memiliki saham paling besar dalam pembentukan bangsa Indonesia ini. Contoh nyata adalah pada sidang BPUPKI simbah KH Wahid Hasyim ‘pasang badan’ sebagai penengah ditengah perdebatan bentuk negara dan dasar negara antara kelompok Islam dan non Islam, maka diputuskan NKRI adalah bentuk final Bangsa Indonesia.
Di tengah pertarungan Ideologi yang semakin runcing tersebut, maka masing-masing kekuatan yang ada juga memperluas pengaruhnya di masing-masing sektor, tak terkecuali di kalangan pelajar. Melakukan ideologisasi Islam ala Ahlussunah Wal Jamaah dikalangan pelajar NU maka hukumnya menjadi ‘wajib’. Tidak hanya sekedar menyelamatkan kader NU dari kepungan ketiga ideologi diatas, akan tetapi menyelamatkan bangsa ini dari perpecahan dan kehancuran dini. Para intelektual muda NU, Ulama dan Kyai tidak menginginkan bangsa ini menjadi ‘layu sebelum berkembang’. Penerimaan NU pada konsep NASAKOM merupakan pembuktian kesekian kali bahwa NU menginginkan bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Bahwa perbedaan yang muncul NU berusaha menerima dan memahami dan kemudian merumuskan menjadi kekuatan bangsa.
Meskipun didirikan ditengah tengah pertarungan politik yang cukup keras, IPNU adalah Jawaban atas kebutuhan organisasi pelajar, santri dan mahasiswa secara nasional untuk menjawab kebutuhan proses kaderisasi di tubuh Nahdlatul Ulama, dan kebutuhan untuk melakukan ideologisasi bagi pelajar sekaligus memberi jaminan bahwa bangsa Indonesia ini utuh di awal kemerdekaan, dan menjadi bangsa yang besar di kemudian hari.

D.    Peristiwa strategis dari konggres ke konggres
Pendirian Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dimotori oleh M Sufjan Cholil (Jombang), H. Mustahal (Solo), dan Acmad Masjhub, dan Abdul Ghoni Farida (Semarang) yang mengusulkan kepada PB LP Maarif yang saat itu menyelenggarakan Konferensi Besarnya di Semarang.
Sebelum menindaklanjuti pengesahan Konferensi Besar Ma’arif NU, assabiqunal awwalun (sebutan bagi tiga perintis IPNU) mengadakan Konferensi Segi Lima di Solo. Konferensi ini meliputi daerah Yogyakarta, Semarang, Solo, Jombang, dan Kediri. Konferensi ini melahirkan beberapa keputusan penting, yaitu bahwa organisasai berazaskan ahlussunah wal jamaah, wilayah garapan organisasi yang khusus putra, dan tujuan keberadaan organisasi adalah mengokohkan ajaran Islam sekaligus risalah diniyah (penyebarluasan), meninggikan dan menyempurnakan pendidikan dan ajaran Islam, serta menghimpun semua potensi pelajar yang berpaham Ahlussunah wal jamaah di semua sekolah sekolah yang ada. Keputusan yang tidak kalah penting adalah menunjuk Mohammad Tholchah Mansoer sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat IPNU dan menetapkan Yogyakarta sebagai kantor pusat, serta sekilas AD/ART IPNU. Berita pelaksanaan Konferensi Segi Lima serta hasil-hasilnya segera disebarkan ke seluruh pelosk Tanah Air, terutama kota-kota yang terdapat pesantren. Hingga sampai saat ini perkembangan IPNU-IPPNU sangat signifikan.
Selanjutnya IPNU mendapat pengakuan resmi sebagai bagian dari NU pada Muktamar NU ke 20 di Surabaya pada tanggal 9 – 14 September 1954. Kemudian IPNU melaksanakan muktamar yang pertama pada tanggal 28 Februari 1955 di Malang Jawa Timur. Kebesaran muktamar benar benar terwujud, dan semakin terasa istimewa karena dihadiri oleh Presiden RI Ir. Soekarno, Wakil Perdana Menteri Zainul Arifin, Menteri Agama RI KH. Masykur. Sedangkan dari jajaran PBNU hadir Rois ‘Aam NU KH Abdulwahab Chasbullah, Ketua Umum Partai NU KH Dahlan, Ketua Umum PB Maarif NU KH Syukri Ghozali. Hal itu yang menandai pengakuan pihak Eksternal dan Internal eksistensi IPNU sebagai salah satu organisasi kepemudaan di Indonesia.
Pada muktamar II di Pekalongan pada tahun 1957, mulai diadakan lomba dan beberapa pertandingan cabang olahraga, diantaranya sepak bola, bulutangkis dan catur. Pada muktamar II ini kembali Tolkhah Mansyur  dipercaya sebagai ketua Umum.
Muktamar III dilaksanakan di Cerebon, pada tanggal 27 Desember 1958. di muktamar ini IPNU mulai mendapat kritik, karena diusia yang ke-4 kader pesantren merasa ditinggalkan dan kurang diakomodir. Puncaknya mereka menilai bahwa eksistensi IPNU sebagai organisasi tidak jauh berbeda dengan PII. Semangat kritisisme peserta muktamar mulai kelihatan, hal ini dapat dilihat dari Usulan-usulan baik itu kepada PP IPNU, PB Maarif, ataupun kepada Menteri Agama, menteri PP & K, dan Menteri Perhubungan.  Dalam muktamar ini POR mulai diadakan secara resmi yang diikuti oleh 56 cabang IPNU dari seluruh Indonesia. Selain Tolkhah Mansyur terpilih kembali sebagai ketua Umum IPNU, yang paling penting adalah munculnya amanat Muktamar bahwa PP IPNU harus menyusun Mukadimmah AD / ART IPNU yang akhirnya  berhasil disusun pada tanggal 16 Oktober 1959.
Muktamar IV diselenggarakan di Yogyakarta, pad tanggal 11 Februari 1961, beberapa hal penting yang dihasilkan dalam muktamar ini adalah penghapusan departemen perguruan tinggi IPNU karena sudah ada PMII, penggantian istilah muktamar menjadi konggres, dan perubahan istilah dari Anggaran Dasar / Rumah Tangga (AD/ART) menjadi Peraturan Dasar / Peraturan rumah tangga (PD/PRT) serta finalisasi bentuk lambing IPNU. Dan terpilihnya Ismail Makky sebagai ketua Umum.
Sebelum diadakan Konggres ke V di Purwokerto, diadakan konferensi besar di Pekalongan pada tanggal 28 Oktober 1964, lahirlah rumusan sikap yang disebut dengan ‘Doktrin Pekalongan’, yang isinya sebuah ekspresi kesadaran IPNU untuk terus berusaha melakukan langkah langkah kongkrit aktualisasi perjuangan menuju cita cita Nahdlatul Ulama. Doktrin Pekalongan juga menegaskan pemihakan IPNU kepda Pancasila, mengalahkan manifesto Komunis maupun Declaration of Independence. Dari Doktrin pekalongan inilah yang kemudian mendorong berdirinya Corp Brigade Pembangunan (CBP) pada tahun 1965. Mengingat pada saat itu eskalasi politik sedang meningkat. Operasional CBP ada pada wilayah membantu usaha pembangunan masyarakat desa dan sebagai organ keamanan bagi IPNU. Konggres V di Purwokerto menghasilkan ketua terpilih Asnawi Latif. Dan yang terpenting adalah Ikrar Bersama peserta Konggres V yang berbunyi “Nama Organisasi ‘Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama’ tidak akan di ubah untuk selama lamanya.”
Setahun setelah CBP terbentuk, IPNU menyelenggarakan Konggres VI di Surabaya pada tanggal 20 – 24 Agustus 1966, dikonggres ini juga diadakan PORSENI IPNU / IPPNU. Di konggres ini menghasilkan keputusan yang fundamental yaitu IPNU / IPPNU sebagai badan otonom Partai Nahdlatul Ulama. Artinya posisi sejak konggres VI IPNU / IPPNU sejajar dengan GP Ansor, Muslimat dan Banom banom yang lain. Dan keputusan lain yaitu memindahkan kantor pusat IPNU dari Yogyakarta ke ibukota Jakarta.
Tahun 1988 saat kongres ke-10 di Jombang, dikarenakan UU Nomor 8 tahun 1985 tentang aturan keormasan di Indonesia. Azas dan nama berubah, karena tuntutan UU itu, seperti juga pada NU. Tetapi hakekat dari tujuan, sasaran kelompok dll, tetap sama. Akronim IPNU dari Ikatan  pelajar NU menjadi Ikatan Putra NU. Bahkan ketika itu, sebenarnya tidak saja kependekan “P” termasuk dua huruf dibelakangnya (NU) yang harus dihapuskan, karena hal itu dianggap sebagai bawahan partai tertentu. Pada konggres akhirnya  tetap menjadi IPNU, hanya “P”-nya saja yang berubah,dari pelajar menjadi putra. Hal serupa juga terjadi pada organisasi pelajar manapun.  Perubahan nama tersebut menjadikan IPNU terpaksa merubah focus sasaran bidang garap dari pelajar dan santri, menjadi lebih difokuskan pada kemahasiswaan.
Namun kemudian dalam kongres ke-13 di Makasar tahun 2000, para kader IPNU memunculkan kesadaran bersama yang terasa hilang sejak tahun 1988, sehingga menghasilkan sebuah “Deklarasi Makasar” yang berisi rekomendasi bahwa IPNU kembali pada proses kepelajaran, lalu menumbuhkembangkan IPNU pada proses perjuangan sekolah dan pondok pesantren dan terakhir menghidupkan lagi Lembaga CBP (Corp Brigade Pembangunan ) yang lahir 1965 sebagai kelompok kedisiplinan, kepanduan, dan Pecinta Alam. Semua itu  dalam kerangka mencapai tujuan IPNU yaitu terbentuknya putra-putra banga yang bertaqwa  kepada Allah SWT, berilmu, Berakhlak mulia, dan berwawaan kebangsaan, serta bertanggung jawab atas tegak dan terlaksanakanya syari’at Islam menurut paham Ahlus Sunah Wal Jama’ah berdasarkan Pancasila dan  UUD 1945.
Pada konggres IPNU di Surabaya, para kader IPNU membuat sebuah kesepakatan bersama yaitu untuk merubah nama dan sekaligus Visi kepelajaran dan orientasi Pengkaderan IPNU pada garis perjuangan yang semestinya. Pada Kongres di Asrama Haji Sukolilo Surabaya tersebut, sebenarnya sebagian besar peserta, terutama dari luar Jawa, tidak sepakat perubahan Putra ke Pelajar. Namun, karena tekanan dari PBNU (karena memang hak PBNU sebagai induk organisasi untuk mengintervensi IPNU pada saat dipandang perlu), akhirnya pada Pleno khusus ditetapkan secara aklamasi, bahwa IPNU kembali menjadi Ikatan Pelajar NU dengan fokus bidang garap pada segmen Pelajar dan Santri.
E.     Orientasi pengembangan IPNU kedepan
 I.      Penguatan kelembagaan
Ketidak jelasan bidang garap IPNU dalam ranah kaderisasi NU dimulai ketika konggres Jombang memutuskan akronim ‘P’ berubah dari pelajar ke putra. Akan tetapi hal ini tidak dapat disalahkan, karena Orde Baru sebagai jelmaan kekuasaan militer di Indonesia, pada saat itu sedang dalam posisi ‘On Power’ maka kemudian setiap potensi yang dianggap mengganggu akan disingkirkan kalau perlu ditumpas. kebijakan kebijakan yang bernuansa hegemonik mulai diterapkan, termasuk UU no 8 th 1985 tentang keormasan, dilanjutkan munculnya SKB 3 Menteri yang melakukan pelarangan organisasi di tingkat sekolah selain OSIS dan Pramuka.
Deklarasi makasar dan ditetapkannya keputusan di Konggres Surabaya yang menyatakan perubahan nama dari ‘Putra’ ke ‘Pelajar’ merupakan titik balik. Pilihan kembali kepelajar adalah bentuk kesadaran kritis IPNU terhadap kondisi kaderisasi yang ada di tubuh Nahdlatul Ulama dan berbagai problem bangsa kontemporer.
 4 tahun sudah pilihan dijatuhkan, akan tetapi fokus gerakan IPNU belum sepenuhnya terkonsentrasikan didunia pelajar dan santri. Sekali lagi pemakluman yang harus disampaikan untuk kasus ini karena secara utuh pembagian wilayah kaderisasi di NU juga carut marut!!! Bagaimana mungkin dalam rentang usia yang panjang (20 – 29 tahun) dua badan otonom diberi kewajiban melakukan kaderisasi atau malah berebut satu sama lain??? Apalagi oleh dua badan otonom, yang satu ‘pelajar’ dan yang satu ‘pemuda’, aneh bukan?. Dalam bahasa matematika, ‘irisan’ wilayah kaderisasi inilah yang perlu dirapikan.
Memperdebatkan hal diatas memang harus, akan tetapi hasil yang diharapkan tidak bisa di capai dalam waktu singkat. Sambil menunggu proses, kesadaran akan fungsi organisasi kiranya menjadi solusi atas problem diatas. Ya!!! Mencurahkan seluruh potensi yang ada di organisasi untuk lebih fokus ke pelajar dan santri saya kira pilihan rasional. Disiplin gerak adalah kunci agar dari waktu ke waktu karya yang dilakukan dapat diukur, dievaluasi dan kemudian dicarikan solusi pengembangannya dikemudian hari.
Pembenahan di wilayah administrasi dan manajemen organisasi juga menjadi PR seluruh elemen yang terlibat dikepengurusan IPNU di semua tingkatan. Karena organisasi bekerja dan bergerak berdasarkan catatan administrasi yang ada dan penataan manajemen yang dilakukan. compang camping, semrawut, atau bahkan tidak ada catatan sama sekali, menjadi temuan yang umum ketika kita membuka - buka catatan administrasi yang dilakukan pengurus IPNU. Baik itu data base organisasi, surat masuk, surat keluar, agenda yang sudah dilakukan ataupun agenda yang akan dilakukan, bahkan jumlah anggota yang dimiliki juga tidak dimiliki. Bagaimana mungkin kita mau menyusun program kerja, kurikulum kaderisasi dan strategi pengembangan organisasi yang utuh dan rasional apabila data yang dipakai adalah asumsi atau bahkan palsu.
Kurangnya disiplin gerak dan kacaunya sistem administrasi organisasi memberi dampak pada lemahnya kurikulum kaderisasi, ketidak tertiban tahapan kaderisasi (formal dan non formal ) yang dilakukan dan kacaunya pembagian kerja diantara pengurus, sehingga kemampuan manajemen organisasi bagi pengurus tidak dapat didesain dan diukur lewat proses kaderisasi yang ada dalam organisasi.
II.      Penataan infrastruktur organisasi
Kepengurusan IPNU ada mulai dari Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Cabang, Pimpinan Anak Cabang, dan sampai Pimpinan Ranting dan Komisariat. kondisi dimasing masing daerah dan tingkatan berbeda satu sama lain. Banyak hal yang mempengaruhi kondisi ini, baik itu kultur masyarakatnya, kinerja pengurus, dan dukungan dari stakeholder yang ada (NU, Ansor, Maarif, Pondok Pesantren, Pemerintah daerah setempat dll.)
Globalisasi semakin menengelamkan semangat kolektif  bangsa Indonesia, sehingga kesadaran berorganisasi ditingkat masyarakat juga semakin rendah. Dampak yang muncul bagi IPNU adalah terjadi pasang surut organisasi disemua tingkatan. Langkah yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi hal ini adalah :
1.      Melakukan reorganisasi bagi kepengurusan yang sudah habis periodesasinya.
2.      Revitalisasi organisasi di semua tingkatan yang kepengurusannya kurang jalan.
3.      Membentuk kepengurusan IPNU di daerah yang belum terbentuk.
4.      Disiplin pada aturan organisasi
5.      Ketaatan pada instruksi organisasi

 III.   Kepemimpinan issue kepelajaran
Sebagai organisasi pelajar, IPNU selama ini belum maksimal memerankan dan mencerminkan sebagai organisasi pelajar. Walaupun di dalam keanggotaan dan kepengurusan banyak yang (maaf) sudah ‘kedaluwarsa’ untuk disebut sebagai pelajar, akan tetapi merumuskan issue strategis ke-pelajar-an dalam setiap nafas kegiatan IPNU yang dibuat adalah keharusan. Hal itu dilakukan untuk senantiasa mengingatkan jatidiri organisasi IPNU sebenarnya.
Tugas terberat sekarang adalah bagaimana disetiap daerah setiap ada persoalan yang berkaitan dengan pelajar, IPNU menjadi organisasi yang pertamakali merespon, atau minimal terlibat dalam merespon persoalan tersebut. Perlu kerja ekstra keras memang, karena kita semua harus sering mengikuti perkembangan informasi, berdiskusi, dan merumuskan solusi alternatif yang bisa kita tawarkan untuk menyelesaikan masalah pelajar yang terjadi di sekitar kita. Semoga !!!.
Hal yang harus segera dilakukan adalah membuat IPNU sebagai organisasi yang memberi pelayanan dan manfaat bagi pelajar, tidak sedikit masalah yang dihadapi oleh pelajar misalnya, keterbatasan sarana belajar, kekurangan biaya sekolah, hilangnya motivasi belajar, masalah antar pelajar maupun antara pelajar dengan guru, antara pelajar dengan lingkungan ataupun dengan orang tua dll. Belum lagi ancaman bagi pelajar yang bersifat jangka panjang, misalnya NARKOBA, Free Sex, perdagangan anak dan pelacuran yang melibatkan pelajar.
Alternatif yang bisa IPNU lakukan antara lain fasilitasi peningkatan prestasii belajar (misalnya kelompok belajar / studi club dan lembaga bimbingan belajar) dan pembentukan kelompok yang bersifat kegemaran (olahraga dan seni). Apabila kita dapat konsisiten dalam kepemimpinan issue pelajar, maka setiap ada pelajar yang memiliki ketertariakan untuk terlibat aktif  di organisasi, maka IPNU akan senantiasa menjadi tujuan dan pilihan utama bagi pelajar untuk bergabung.
 IV.   Pengembangan di remaja masjid
Globalisasi merupakan edisi baru ekspansi modal internasional ke seluruh pelosok bumi. Apapun akan dipakai untuk satu tujuan yaitu keuntungan sebesar besarnya bagi perusahaan internasional (Trans National Corporation / Multinational Corporation). Indonesia dengan potensi sumberdaya alam dan pangsa pasar yang sangat besar (jumlah penduduk 200 juta lebih), menjadi wilayah strategis untuk dijadikan ’ajang pertarungan’ bagi modal Internasional.
            Dalam konteks agama, juga tidak lepas dari hal ini, tesis Hantington yang berjudul ‘benturan antar peradaban’, selesainya pertarungan antara liberalisme dengan komunisme (ditandai dengan bubarnya Uni Soviet), maka potensi yang muncul adalah pertarungan peradaban antara barat dengan Islam. Dalam suatu forum di Malang Gus Dur pernah berpesan, sebisa mungkin penggunaan / pelabelan nama Islam di hindari, supaya kita tidak masuk dalam setting Hantington. Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia, saat ini sedang dipaksa untuk mengikuti desain diatas. Maka tidak mengherankan sekarang banyak kita jumpai kelompok atau organisasi Islam di Indonesia yang  menginginkan formalisasi syariat Islam di Indonesia, dimana pelakunya dalam berpenampilan cukup mencolok, yang laki laki, memakai jenggot, jidat hitam, celana congkrang dan sesekali memakai jubah dan yang perempuan memakai jilbab besar, pakai baju ‘hamil’ dan kadang kita temui memakai cadar. Yang lebih tidak nyambung itu dilakukan ketika issue tentang terorisme sedang maraknya disuarakan oleh Amerika dan negara pendukungnya (baca : barat). Lucu memang, serangan terorisme banyak dilakukan di Amerika (WTC), Afganistan, dan Irak akan tetapi kampanye anti terorisme sangat getol dilakukan di Indonesia.
NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia menjadi bidikan utama kelompok ‘aneh-aneh’ diatas. Sedangkan basis umat Islam (baca : NU) ada di masjid masjid. Sudah banyak masjid yang selama ini di dikelola warga NU, sekarang lepas dan di ghosob oleh kelompok- kelompok diatas. Disisi lain, anak muda NU sekarang banyak yang mulai melupakan masjid dan musholla. Akan sangat mudah bila sebuah rumah ditinggal penghuninya kemudian ada orang datang dan menghuni rumah tersebut.
Menyelamatkan masjid dalam konteks ini tidak sekedar mempertahankan apa yang dimiliki oleh NU saat ini akan tetapi adalah mempertahankan dan menyelamatkan NKRI dari kepungan Kapitalisme Global.
Menggelola remaja masjid sebagai basis organisasi IPNU di tingkat ranting juga sebagai pilihan strategi ketika kita memutuskan kembali ke Pelajar, akan tetapi secara Infrastruktur kaderisasi (guru, kurikulum, strategi) yang kita miliki untuk masuk ke sekolah terutama sekolah umum belum memadai dan masih kalah jauh dibandingkan dengan organisasi lain (PII, IRM, dan KAPPI). Pelajar atau remaja akan tertarik pada suatu kegiatan atau aktifitas apabila kegiatan tersebut memberi kontribusi bagi pengembangan dirinya, memberi tantangan, menyenangkan, dan variatif. Tantangan kita sekarang adalah bagaimana kita mampu menjadikan organisasi remaja masjid menjadi organisasi yang menarik bagi setiap remaja Islam yang ada di sekitar masjid. Sanggupkah???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar