A.
Sekilas kelahiran IPNU,
1954
Pada tahun 1373 Hijriyah
babakan era baru bagi perjalanan
generasi muda NU yang tergabung dalam IPNU. Sebelum menggunakan nama IPNU,
kegiatan mereka di berbagai tempat bermacam-macam. Sebagian melakukan rutinitas
keagamaan, seperti tahlilan, yasinan, diba’/ berjanji, dst. Kelompok pelajar
seperti itu lebih banyak ditemui di pesantran-pesantren dan di kampung-kampung.
Sebagian lagi, kelompok muda NU mengadakan di Sekolah-Pesantren, Sekolah Umum
dan Perguruan Tinggi. Sekalipun tergolong masih kecil jumlahnya.
Pendirian
IPNU pada tahun tersebut, bukan tanpa proses. Beberapa kegiatan yang telah
disebut di atas. Sisi lainya adalah
dengan melalui musyawarah yang intensif, antara para kyai pesantren, pengurus
NU dan lembaga pendidikan Ma’arif NU.
Termasuk yang tak kalah pentingnya adalah kontribusi pemikiran aktivis
kaum pelajar NU, lebih khusus di Pesantren atau Sekolah.
Pilihan
nama organisasi juga melalui proses. Bukti historis proses tersebut sebagai
berikut: beberapa tahun sebelumnya terdapat keragaman nama bagi perkumpulan pelajar NU, seprti Tsamratul
Mustafidin di Surabaya tahun 1936, PERSANO (Persatuan Santri Nahdlotul Oelama) tahun 1945, Persatuan Murid NU tahun
1945 di Malang, Ijtima-ulth Tholabiyyah tahun 1945 di Madura, ITNO (Ijtimatul
Tholabah NO) tahuan 1946 di SUmbawa, PERPENO (Persatuan Pelajar NO) di Kediri
1953, IPINO (IKatan Pelajar NO) dan IPENO
tahun 1954 di Medan, dll.
Mengingat
perkumpulan tersebut satu sama lain kurang saling mengenal, karena kelahiran
mereka atas inisiatif dan kreatifitas mereka sendiri. Maka, maka dibutuhkan
wadah yang sama dan satu induk. Satu hal yang sewarna dan sejalan adalah
pijakan pada dasar keyakinan Islam Ahlusunnah Wal jama’ah. Juga atas dasar
kebersamaan dan persatuan (ukhwah) sesama umat Islam pemegang tradisi. Karena
itu, IPNU merupakan induk dan satu-satunya organisasi NU yang menangani kaum
muda NU tingkat pelajar NU, termasuk di Perguruan Tinggi.
Tepat
tanggal 24 Pebruari 1954 M. bertepatan dengan 20 Jumadil Akhir 1373 H. di
Semarang, pada konferensi besar Ma’arif NU se-Indonesia menyepakati nama IPNU,
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama sebagai satu-satunya wadah berhimpun dan
berkreasi Pelajar, Mahasiswa, Santri dan remaja baik di Pesantren,
Madrasah/sekolah maupun Perguruan Tinggi. Gagasan ini dipelopori oleh Tolhah
Mansur ( Fak. Hukum UGM ), fadlan AGN (
Fisipol UGM ) dari Jatim, Mustahal achmad Masyhud ( Solo ) Sufyan Kholil dan
Abdul Ghoni Farida ( Semarang ) yang pada akhirnya dalam Konferensi tersebut
Mohammad Tolchah Mansur ditetapkan sebagai ketua ummnya. Gagasan tersebut
muncul karena memandang perlunya penyatuan elemen gerak berbagai organisasi
pelajar NU dalam satu wadah agar lebih solid. Sejak saat itu, upaya
pengembangan cabang terus dilakukan hingga berdiri lima cabang yang dikenal
dengan PANCA DAERAH ( Jombang, Solo, Kediri, Semarang dan Yogyakarta )
Menindaklanjuti
ketetapan Konbes Ma’arif itu, para pengurus mengadakan konferensi lima daerah;
Yogyakarta, Semarang, Surakarta, Jombang dan Kediri. Di Surakarta tanggal 29
April – 1 Mei 1954. putusan-putusan
penting pun dihasilkan; selain merumuskan tujuan, PD PRT, juga menetapkan
Tolchah Mansur sebagai ketua umum
Pimpinan Pusat IPNU dan menetapkan kota Yogyakarta sebagai kantor pusat
organisasi. Mendapat pengakuan resmi sebagai bagian NU pada Muktamar ke 20 di
Surabaya, 9-14 September 1954, setelah ketua umum menyampaikan gagasan IPNU
dihadapan peserta Muktamar NU.
Untuk
memperkokoh organisasi, IPNU melaksanakan Muktamarnya (baca: Kongres) yang
pertama pada tanggal 28 Februari 1955 di Malang Jawa Timur. Ikut hadir dalam
perhelatan Nasional itu adalah presiden RI Soekarno. Hal ini juga sekaligus
pengukuhan IPNU sebagai bagian organisasi pemuda di Indonesia. IPNU pun mulai
populer di tengah masyarakat Indonesia. Lebih-lebih, surat kabar dan radio memberitakan pidato Bung Karno pada Muktamar
IPNU tersebut.
Sebagai
organisasi pelajar dan terpelajar, beberapa tokoh pendiri IPNU adalah
orang-orang yang masih berpendidikan, seperti Mohammad Tolchah Mansur
(mahasiswa UGM Yogyakarta), dan Ismail (mahasiswa IAIN Sunan Kalijogo
Yogyakarta). Di daerah-daerah juga, para pengurus IPNU saat itu banyak yang
dipegang oleh para mahasiswa, seperti Mahbub Djunaedi dan M. Sahal Makmun di
Jakarta (mahasiswa UI). Beberapa kader IPNU lainya di Pesantren adalah
Abdurrahman Wahid dari Jawa Timur (Ketua Tanfidziyah PBNU 1984-1999) dan Ilyas
Ru’yat dari Jawa Barat (Rais ‘Am 1994-1999).
a)
Perjalanan IPNU dari masa
ke masa: IPNU Pasca Kongres Jombang 1988
Perubahan
zaman memang tidak bisa dihindari, tetapi dihadapi dan dilaksanakan ,
pernyataan itu, berlaku untuk siapa dan apa saja, termasuk juga organisasi
IPNU. Tahun 1998, saat kongres ke-10 di jombang, IPNU harus menghadapi
perubahan zaman. Hal ini cukup berdampak luas bagi keberadaan (eksistensi) IPNU
ke depan. Perubahan ini, setidaknya bersumber awal dari UU nomor 8 tahun 1985
yang ‘membabi buta’ dalam penerapan
aturan tentang keormasan di Indonesia. Azas dan Nama perubahan, karena tuntutan
UU itu, seperti juga pada NU, tapi, hakekatnya tetap, seperti tujuan, sasaran kelompok dll.
Kependekan
nama IPNU dari IKatan Pelajar Nahdlatul Ulama berubah menjadi Ikatan Putra
Nahdlatul Ulama. Bahkan ketika itu, tidak saja perubahan kependekan ‘P’
termasuk dua huruf dilakangnya ( NU) juaga harus dihapuskan. Karena, hal itu
dianggap sebagi bawahan ( underbouw) partai tertentu ( ingat, tahun 1950-an NU
menjadi partai sendiri ). Syukur Alhamduliilah, pada kongres itu akhirnya
diputuskan untuk tetap menjadi IPNU, hanya ‘P’-nya saja berubah ; dari Pelajar
menjadi Putra. Hal serupa juga, terjadi pada organisasi pelajar manapun, selain
PII, Pelajar Islam Indonesia.
Dengan
berubahnya kependekan “P”, berubah pula orientasi dan sasaran binaanya IPNU.
Dari pelajar dan Mahasiswa sebagai sasaran utama, berubah untuk dapat membina
juga remaja yang tidak sekolah. Dapat disebut, setelah kongres Jombang tahun
1988 hingga Kongres Garut tahun 1996 adalah masa Transisi yang bekepanjangan.
Satu misal adalah tidak pernah sampainya pemahaman yang sama tentang orientasi
bidang garap IPNU, berikut skala prioritasnya. Pada masa itulah terjadi tarik menarik
antara kepentingan politik praktis (politisasi IPNU) dengan prioritas program
untuk membenahai warga IPNU sector awal berdirinya IPNU; santri dan pelajar.
Hal ini, ternyata berdampak pada proses pengkaderan yang pelan-pelan semakin
hilang dari pesantren atau sekolah ma’arif NU.
b)
IPNU kembali ke Khittah
1954: Deklarasi Makasar 2000
Melihat
kenyataan IPNU yang masih dalam masa transisi
diatas, maka dalam menyambut millennium ke III, tahun 2000 di Kongres
IPNU ke 13 di Makasar, para kader IPNU memunculkan kesadaran bersama (common
sense) secara kolektif. Seakan-akan ada hal yang baris telah kembali lagi,
yakni sesuatu yang terasa hilang, yakni pada tahun 1988. sesuai deklarasi
Makasar 2000 dan hasil Kongres 13, adalah bahwa IPNU kembali pada visi kepelajaran,
lalu menumbuh-kembangkan IPNU pada basis perjuangan; Sekolah dan Pondok
Pesantren, dan terakhir mengembalikan CBP (Corp Brigade Pembangunan) yang lahir
1965 sebagai kelompok kedisiplinan, kepanduan dan kepecinta alaman. Semua itu
dalam rangka mencapai tujuan IPNU, yaitu terbentuknya Pelajar-Pelajar bangsa
yang bertaqwa kepada Allah SWT, berilmu, berakhlak muli dan berwawasan
kebangsaan, serta bertanggung jawab atas tegak dan terlaksananya syariat Islam menurut faham Ahlussunnah waljamaah
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
c)
Menegaskan Khittah 1954
pada Kongres XIV 2003 (Surabaya)
Deklarasi
Makasar 2000 sebagai tonggak awal mengembalikan IPNU pada orentasi garapan
ternyata belum mampu mengakhiri problematika tersebut. Pada Kongres IPNU ke 14
di Surabaya, para kader IPNU memunculkan kesadaran bersama. Kesadaran itu
adalah untuk merubah nama dan sekaligus visi kepelajaran dan orientasi
pengkaderan IPNU, khususnya di Pesantren dan sekolah-sekolah. Artinya kongres
telah mengembalikan IPNU pada garis perjuangan yang semestinya. Secara popular,
hal tersebut dikenal dengan nama Khittah 1954. dengan demikian, perlahan tapi
pasti, IPNU berkesempatan untuk mengembalikan masa keemasan yang telah hilang,
seperti 15 tahun yang lalu. Akan tetapi, kesadaran itu pun sebenarnya rentan,
bahaya bila momen itu tidak digunakan dengan sebaik-baiknya dan seoptimal
mungkin oleh semua jajaran NU, khususnya IPNU, lebih khusus lagi pesantren
(baca: RMI) dan Ma’arif.
Tokoh – tokoh yang pernah menjadi Ketua Umum
Pimpinan Pusat IPNU adalah :
1.
Rekan M. Tolhah Mansyur ( 1954 –
1960 )
2.
Rekan Ismail Makki ( 1960 – 1963 )
3.
Rekan Asnawi Latif ( 1960 – 1966 ;
1966 – 1970 )
4.
Rekan Tosari Wijaya
5.
Rekan Zainut Tauhid
6.
Rekan Hilmi Muhammadiyah ( 1996 –
2000 )
7.
Rekan Abdullah Azwar Anas ( 2000 –
2003 )
8.
Rekan Mujtahidurridho ( 2003 –
2006 )
9.
Rekan Idi Muzayyad ( 2006 – 2009 )
10.
Rekan
Ahmad Syauqi ( 2009 – 2012 )
B.
Hubungan Ipnu - Ippnu Dan
Ormas Lain
Kaitan IPNU - IPPNU dan NU, bahwa IPNU & IPPNU secara organisatoris
merupakan badan otonom NU yang resmi tercantum pada Anggaran Rumah Tangga NU
pasal 27 poin 6 bagian f, hasil mukatamar NU lirboyo jawa timur yang mana bahwa
IPNU & IPPNU mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan badan otonom yang
lain.
Hubungan IPNU
dengan IPPNU, bahwa IPNU merupakan mitra kerja IPPNU, sedangkan hubungan IPNU
& IPPNU dengan ormas lain , bahwa IPNU & IPPNU mempunyai kedudukan yang
sejajar dengan ormas yang lain yang tergabung dalam satu wadah pembinaan dan
pengembangan generasi muda (KNPI).
C.
Makna Sosiologis dan
Strategis IPNU Dilahirkan
Ikatan
Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) diidrikan pada tanggal 24 Februari 1954 Masehi
yang bertepatan dengan tanggal 20 Jumadil Akhir 1373 Hijriyah. IPNU didirikan
pada saat itu merupakan suatu keharusan sejarah, karena di berbagai daerah organisasi
pelajar dan santri NU sudah banyak berdiri. Sebut saja Tsamratul Mustafidin di
Surabaya tahun 1936, PERSANO (persatuan santri Nahdlotul Oelama) Tahun 1945,
Persatuan murid NO tahun 1945 di Malang, Ijtimaut Tholabah Nahdlatul Oelama
(ITNO) tahun 1946 di Madura, PERPENO
(Peratuan Pelajar NO ) di Kediri tahun 1953, IPINO ( Ikatan pelajar NO ) dan
IPENO Tahun 1954 di Medan, dll). Dengan
demikian, ada kebutuhan untuk membentuk organisasi di tingkat nasional yang
dapat menyatukan dan merumuskan formulasi kaderisasi bagi pelajar NU serta
mendorong pendirian organisasi yang mewadahi pelajar, santri dan mahasisiwa NU
di setiap daerah dan bahkan di setiap tingkatan organisasi NU.
Hal
yang juga tidak kalah penting adalah pertarungan Ideologi pada saat itu antara
Nasionalis, Islam, dan Komunis. Dapat dilihat dalam runutan sejarah NU sebelum
masa kemerdekaan, yakni pada masa awal kemerdekaan NU telah membuktikan diri
sebagai kelompok strategis dan memiliki saham paling besar dalam pembentukan
bangsa Indonesia ini. Contoh nyata adalah pada sidang BPUPKI simbah KH Wahid
Hasyim ‘pasang badan’ sebagai penengah ditengah perdebatan bentuk negara dan
dasar negara antara kelompok Islam dan non Islam, maka diputuskan NKRI adalah
bentuk final Bangsa Indonesia.
Di
tengah pertarungan Ideologi yang semakin runcing tersebut, maka masing-masing
kekuatan yang ada juga memperluas pengaruhnya di masing-masing sektor, tak
terkecuali di kalangan pelajar. Melakukan ideologisasi Islam ala Ahlussunah
Wal Jamaah dikalangan pelajar NU maka hukumnya menjadi ‘wajib’. Tidak hanya
sekedar menyelamatkan kader NU dari kepungan ketiga ideologi diatas, akan
tetapi menyelamatkan bangsa ini dari perpecahan dan kehancuran dini. Para
intelektual muda NU, Ulama dan Kyai tidak menginginkan bangsa ini menjadi ‘layu
sebelum berkembang’. Penerimaan NU pada konsep NASAKOM merupakan
pembuktian kesekian kali bahwa NU menginginkan bangsa ini menjadi bangsa yang
besar. Bahwa perbedaan yang muncul NU berusaha menerima dan memahami dan
kemudian merumuskan menjadi kekuatan bangsa.
Meskipun
didirikan ditengah tengah pertarungan politik yang cukup keras, IPNU adalah
Jawaban atas kebutuhan organisasi pelajar, santri dan mahasiswa secara nasional
untuk menjawab kebutuhan proses kaderisasi di tubuh Nahdlatul Ulama, dan
kebutuhan untuk melakukan ideologisasi bagi pelajar sekaligus memberi jaminan
bahwa bangsa Indonesia ini utuh di awal kemerdekaan, dan menjadi bangsa yang
besar di kemudian hari.
D.
Peristiwa strategis dari
konggres ke konggres
Pendirian
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dimotori oleh M Sufjan Cholil (Jombang),
H. Mustahal (Solo), dan Acmad Masjhub, dan Abdul Ghoni Farida (Semarang) yang
mengusulkan kepada PB LP Maarif yang saat itu menyelenggarakan Konferensi
Besarnya di Semarang.
Sebelum menindaklanjuti pengesahan
Konferensi Besar Ma’arif NU, assabiqunal awwalun (sebutan bagi tiga
perintis IPNU) mengadakan Konferensi Segi Lima di Solo. Konferensi ini meliputi
daerah Yogyakarta, Semarang, Solo, Jombang, dan Kediri. Konferensi ini
melahirkan beberapa keputusan penting, yaitu bahwa organisasai berazaskan
ahlussunah wal jamaah, wilayah garapan organisasi yang khusus putra, dan tujuan
keberadaan organisasi adalah mengokohkan ajaran Islam sekaligus risalah diniyah
(penyebarluasan), meninggikan dan menyempurnakan pendidikan dan ajaran Islam,
serta menghimpun semua potensi pelajar yang berpaham Ahlussunah wal jamaah di
semua sekolah sekolah yang ada. Keputusan yang tidak kalah penting adalah
menunjuk Mohammad Tholchah Mansoer sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat IPNU dan
menetapkan Yogyakarta sebagai kantor pusat, serta sekilas AD/ART IPNU. Berita
pelaksanaan Konferensi Segi Lima serta hasil-hasilnya segera disebarkan ke
seluruh pelosk Tanah Air, terutama kota-kota yang terdapat pesantren. Hingga
sampai saat ini perkembangan IPNU-IPPNU sangat signifikan.
Selanjutnya
IPNU mendapat pengakuan resmi sebagai bagian dari NU pada Muktamar NU ke 20 di
Surabaya pada tanggal 9 – 14 September 1954. Kemudian IPNU melaksanakan muktamar yang pertama
pada tanggal 28 Februari 1955 di Malang Jawa Timur. Kebesaran muktamar benar
benar terwujud, dan semakin terasa istimewa karena dihadiri oleh Presiden RI
Ir. Soekarno, Wakil Perdana Menteri Zainul Arifin, Menteri Agama RI KH.
Masykur. Sedangkan dari jajaran PBNU hadir Rois ‘Aam NU KH Abdulwahab
Chasbullah, Ketua Umum Partai NU KH Dahlan, Ketua Umum PB Maarif NU KH Syukri
Ghozali. Hal itu yang menandai pengakuan pihak Eksternal dan Internal
eksistensi IPNU sebagai salah satu organisasi kepemudaan di Indonesia.
Pada muktamar II di Pekalongan pada tahun 1957,
mulai diadakan lomba dan beberapa pertandingan cabang olahraga, diantaranya
sepak bola, bulutangkis dan catur. Pada muktamar II ini kembali Tolkhah
Mansyur dipercaya sebagai ketua Umum.
Muktamar III dilaksanakan di Cerebon, pada tanggal
27 Desember 1958. di muktamar ini IPNU mulai mendapat kritik, karena diusia
yang ke-4 kader pesantren merasa ditinggalkan dan kurang diakomodir. Puncaknya
mereka menilai bahwa eksistensi IPNU sebagai organisasi tidak jauh berbeda
dengan PII. Semangat kritisisme peserta muktamar mulai kelihatan, hal ini dapat
dilihat dari Usulan-usulan baik itu kepada PP IPNU, PB Maarif, ataupun kepada
Menteri Agama, menteri PP & K, dan Menteri Perhubungan. Dalam muktamar ini POR mulai diadakan secara
resmi yang diikuti oleh 56 cabang IPNU dari seluruh Indonesia. Selain Tolkhah
Mansyur terpilih kembali sebagai ketua Umum IPNU, yang paling penting adalah
munculnya amanat Muktamar bahwa PP IPNU harus menyusun Mukadimmah AD / ART IPNU
yang akhirnya berhasil disusun pada tanggal
16 Oktober 1959.
Muktamar IV diselenggarakan di Yogyakarta, pad
tanggal 11 Februari 1961, beberapa hal penting yang dihasilkan dalam muktamar
ini adalah penghapusan departemen perguruan tinggi IPNU karena sudah ada PMII,
penggantian istilah muktamar menjadi konggres, dan perubahan istilah dari
Anggaran Dasar / Rumah Tangga (AD/ART) menjadi Peraturan Dasar / Peraturan
rumah tangga (PD/PRT) serta finalisasi bentuk lambing IPNU. Dan terpilihnya Ismail Makky sebagai ketua
Umum.
Sebelum diadakan Konggres ke V di Purwokerto,
diadakan konferensi besar di Pekalongan pada tanggal 28 Oktober 1964, lahirlah
rumusan sikap yang disebut dengan ‘Doktrin Pekalongan’, yang isinya
sebuah ekspresi kesadaran IPNU untuk terus berusaha melakukan langkah langkah
kongkrit aktualisasi perjuangan menuju cita cita Nahdlatul Ulama. Doktrin
Pekalongan juga menegaskan pemihakan IPNU kepda Pancasila, mengalahkan
manifesto Komunis maupun Declaration of Independence. Dari Doktrin
pekalongan inilah yang kemudian mendorong berdirinya Corp Brigade Pembangunan
(CBP) pada tahun 1965. Mengingat pada saat itu eskalasi politik sedang
meningkat. Operasional CBP ada pada wilayah membantu usaha pembangunan
masyarakat desa dan sebagai organ keamanan bagi IPNU. Konggres V di Purwokerto
menghasilkan ketua terpilih Asnawi Latif. Dan yang terpenting adalah Ikrar
Bersama peserta Konggres V yang berbunyi “Nama Organisasi ‘Ikatan
Pelajar Nahdlatul Ulama’ tidak akan di ubah untuk selama lamanya.”
Setahun setelah CBP terbentuk, IPNU
menyelenggarakan Konggres VI di Surabaya pada tanggal 20 – 24 Agustus 1966,
dikonggres ini juga diadakan PORSENI IPNU / IPPNU. Di konggres ini menghasilkan
keputusan yang fundamental yaitu IPNU / IPPNU sebagai badan otonom Partai
Nahdlatul Ulama. Artinya posisi sejak konggres VI IPNU / IPPNU sejajar dengan
GP Ansor, Muslimat dan Banom banom yang lain. Dan keputusan lain yaitu
memindahkan kantor pusat IPNU dari Yogyakarta ke ibukota Jakarta.
Tahun 1988 saat kongres ke-10 di Jombang,
dikarenakan UU Nomor 8 tahun 1985 tentang aturan keormasan di Indonesia. Azas
dan nama berubah, karena tuntutan UU itu, seperti juga pada NU. Tetapi hakekat
dari tujuan, sasaran kelompok dll, tetap sama. Akronim IPNU dari Ikatan pelajar NU menjadi Ikatan Putra NU. Bahkan
ketika itu, sebenarnya tidak saja kependekan “P” termasuk dua huruf
dibelakangnya (NU) yang harus dihapuskan, karena hal itu dianggap sebagai
bawahan partai tertentu. Pada konggres akhirnya
tetap menjadi IPNU, hanya “P”-nya saja yang berubah,dari pelajar menjadi
putra. Hal serupa juga terjadi pada organisasi pelajar manapun. Perubahan nama tersebut menjadikan IPNU
terpaksa merubah focus sasaran bidang garap dari pelajar dan santri, menjadi
lebih difokuskan pada kemahasiswaan.
Namun kemudian dalam kongres ke-13 di Makasar
tahun 2000, para kader IPNU memunculkan kesadaran bersama yang terasa hilang
sejak tahun 1988, sehingga menghasilkan sebuah “Deklarasi Makasar” yang
berisi rekomendasi bahwa IPNU kembali pada proses kepelajaran, lalu
menumbuhkembangkan IPNU pada proses perjuangan sekolah dan pondok pesantren dan
terakhir menghidupkan lagi Lembaga CBP (Corp Brigade Pembangunan ) yang lahir
1965 sebagai kelompok kedisiplinan, kepanduan, dan Pecinta Alam. Semua itu dalam kerangka mencapai tujuan IPNU yaitu
terbentuknya putra-putra banga yang bertaqwa
kepada Allah SWT, berilmu, Berakhlak mulia, dan berwawaan kebangsaan,
serta bertanggung jawab atas tegak dan terlaksanakanya syari’at Islam menurut
paham Ahlus Sunah Wal Jama’ah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pada konggres IPNU di Surabaya, para kader IPNU
membuat sebuah kesepakatan bersama yaitu untuk merubah nama dan sekaligus Visi
kepelajaran dan orientasi Pengkaderan IPNU pada garis perjuangan yang
semestinya. Pada Kongres di Asrama Haji Sukolilo Surabaya tersebut, sebenarnya
sebagian besar peserta, terutama dari luar Jawa, tidak sepakat perubahan Putra
ke Pelajar. Namun, karena tekanan dari PBNU (karena memang hak PBNU sebagai
induk organisasi untuk mengintervensi IPNU pada saat dipandang perlu), akhirnya
pada Pleno khusus ditetapkan secara aklamasi, bahwa IPNU kembali menjadi Ikatan
Pelajar NU dengan fokus bidang garap pada segmen Pelajar dan Santri.
E.
Orientasi pengembangan IPNU
kedepan
I.
Penguatan kelembagaan
Ketidak
jelasan bidang garap IPNU dalam ranah kaderisasi NU dimulai ketika konggres
Jombang memutuskan akronim ‘P’ berubah dari pelajar ke putra. Akan tetapi hal
ini tidak dapat disalahkan, karena Orde Baru sebagai jelmaan kekuasaan militer
di Indonesia, pada saat itu sedang dalam posisi ‘On Power’ maka kemudian setiap
potensi yang dianggap mengganggu akan disingkirkan kalau perlu ditumpas.
kebijakan kebijakan yang bernuansa hegemonik mulai diterapkan, termasuk UU no 8
th 1985 tentang keormasan, dilanjutkan munculnya SKB 3 Menteri yang melakukan
pelarangan organisasi di tingkat sekolah selain OSIS dan Pramuka.
Deklarasi
makasar dan ditetapkannya keputusan di Konggres Surabaya yang menyatakan
perubahan nama dari ‘Putra’ ke ‘Pelajar’ merupakan titik balik. Pilihan kembali
kepelajar adalah bentuk kesadaran kritis IPNU terhadap kondisi kaderisasi yang
ada di tubuh Nahdlatul Ulama dan berbagai problem bangsa kontemporer.
4 tahun sudah pilihan dijatuhkan, akan tetapi
fokus gerakan IPNU belum sepenuhnya terkonsentrasikan didunia pelajar dan
santri. Sekali lagi pemakluman yang harus disampaikan untuk kasus ini karena
secara utuh pembagian wilayah kaderisasi di NU juga carut marut!!! Bagaimana
mungkin dalam rentang usia yang panjang (20 – 29 tahun) dua badan otonom diberi
kewajiban melakukan kaderisasi atau malah berebut satu sama lain??? Apalagi
oleh dua badan otonom, yang satu ‘pelajar’ dan yang satu ‘pemuda’, aneh bukan?.
Dalam bahasa matematika, ‘irisan’ wilayah kaderisasi inilah yang perlu
dirapikan.
Memperdebatkan
hal diatas memang harus, akan tetapi hasil yang diharapkan tidak bisa di capai
dalam waktu singkat. Sambil menunggu proses, kesadaran akan fungsi organisasi
kiranya menjadi solusi atas problem diatas. Ya!!! Mencurahkan seluruh potensi
yang ada di organisasi untuk lebih fokus ke pelajar dan santri saya kira
pilihan rasional. Disiplin gerak adalah kunci agar dari waktu ke waktu karya
yang dilakukan dapat diukur, dievaluasi dan kemudian dicarikan solusi
pengembangannya dikemudian hari.
Pembenahan
di wilayah administrasi dan manajemen organisasi juga menjadi PR seluruh elemen
yang terlibat dikepengurusan IPNU di semua tingkatan. Karena organisasi bekerja
dan bergerak berdasarkan catatan administrasi yang ada dan penataan manajemen
yang dilakukan. compang camping, semrawut, atau bahkan tidak ada catatan sama
sekali, menjadi temuan yang umum ketika kita membuka - buka catatan
administrasi yang dilakukan pengurus IPNU. Baik itu data base organisasi, surat
masuk, surat keluar, agenda yang sudah dilakukan ataupun agenda yang akan
dilakukan, bahkan jumlah anggota yang dimiliki juga tidak dimiliki. Bagaimana
mungkin kita mau menyusun program kerja, kurikulum kaderisasi dan strategi
pengembangan organisasi yang utuh dan rasional apabila data yang dipakai adalah
asumsi atau bahkan palsu.
Kurangnya
disiplin gerak dan kacaunya sistem administrasi organisasi memberi dampak pada
lemahnya kurikulum kaderisasi, ketidak tertiban tahapan kaderisasi (formal dan
non formal ) yang dilakukan dan kacaunya pembagian kerja diantara pengurus,
sehingga kemampuan manajemen organisasi bagi pengurus tidak dapat didesain dan
diukur lewat proses kaderisasi yang ada dalam organisasi.
II.
Penataan infrastruktur
organisasi
Kepengurusan
IPNU ada mulai dari Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Cabang, Pimpinan
Anak Cabang, dan sampai Pimpinan Ranting dan Komisariat. kondisi dimasing
masing daerah dan tingkatan berbeda satu sama lain. Banyak hal yang
mempengaruhi kondisi ini, baik itu kultur masyarakatnya, kinerja pengurus, dan
dukungan dari stakeholder yang ada (NU, Ansor, Maarif, Pondok Pesantren,
Pemerintah daerah setempat dll.)
Globalisasi
semakin menengelamkan semangat kolektif
bangsa Indonesia, sehingga kesadaran berorganisasi ditingkat masyarakat
juga semakin rendah. Dampak yang muncul bagi IPNU adalah terjadi pasang surut
organisasi disemua tingkatan. Langkah yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi
hal ini adalah :
1.
Melakukan reorganisasi bagi
kepengurusan yang sudah habis periodesasinya.
2.
Revitalisasi organisasi di semua
tingkatan yang kepengurusannya kurang jalan.
3.
Membentuk kepengurusan IPNU di
daerah yang belum terbentuk.
4.
Disiplin pada aturan organisasi
5.
Ketaatan pada instruksi organisasi
III.
Kepemimpinan issue
kepelajaran
Sebagai
organisasi pelajar, IPNU selama ini belum maksimal memerankan dan mencerminkan
sebagai organisasi pelajar. Walaupun di dalam keanggotaan dan kepengurusan
banyak yang (maaf) sudah ‘kedaluwarsa’ untuk disebut sebagai pelajar, akan
tetapi merumuskan issue strategis ke-pelajar-an dalam setiap nafas kegiatan
IPNU yang dibuat adalah keharusan. Hal itu dilakukan untuk senantiasa
mengingatkan jatidiri organisasi IPNU sebenarnya.
Tugas
terberat sekarang adalah bagaimana disetiap daerah setiap ada persoalan yang
berkaitan dengan pelajar, IPNU menjadi organisasi yang pertamakali merespon,
atau minimal terlibat dalam merespon persoalan tersebut. Perlu kerja ekstra
keras memang, karena kita semua harus sering mengikuti perkembangan informasi,
berdiskusi, dan merumuskan solusi alternatif yang bisa kita tawarkan untuk
menyelesaikan masalah pelajar yang terjadi di sekitar kita. Semoga !!!.
Hal
yang harus segera dilakukan adalah membuat IPNU sebagai organisasi yang memberi
pelayanan dan manfaat bagi pelajar, tidak sedikit masalah yang dihadapi oleh
pelajar misalnya, keterbatasan sarana belajar, kekurangan biaya sekolah,
hilangnya motivasi belajar, masalah antar pelajar maupun antara pelajar dengan
guru, antara pelajar dengan lingkungan ataupun dengan orang tua dll. Belum lagi
ancaman bagi pelajar yang bersifat jangka panjang, misalnya NARKOBA, Free Sex,
perdagangan anak dan pelacuran yang melibatkan pelajar.
Alternatif
yang bisa IPNU lakukan antara lain fasilitasi peningkatan prestasii belajar
(misalnya kelompok belajar / studi club dan lembaga bimbingan belajar) dan
pembentukan kelompok yang bersifat kegemaran (olahraga dan seni). Apabila kita
dapat konsisiten dalam kepemimpinan issue pelajar, maka setiap ada pelajar yang
memiliki ketertariakan untuk terlibat aktif
di organisasi, maka IPNU akan senantiasa menjadi tujuan dan pilihan
utama bagi pelajar untuk bergabung.
IV. Pengembangan di remaja masjid
Globalisasi
merupakan edisi baru ekspansi modal internasional ke seluruh pelosok bumi.
Apapun akan dipakai untuk satu tujuan yaitu keuntungan sebesar besarnya bagi
perusahaan internasional (Trans National Corporation / Multinational
Corporation). Indonesia dengan potensi sumberdaya alam dan pangsa pasar yang
sangat besar (jumlah penduduk 200 juta lebih), menjadi wilayah strategis untuk
dijadikan ’ajang pertarungan’ bagi modal Internasional.
Dalam
konteks agama, juga tidak lepas dari hal ini, tesis Hantington yang berjudul
‘benturan antar peradaban’, selesainya pertarungan antara liberalisme dengan
komunisme (ditandai dengan bubarnya Uni Soviet), maka potensi yang muncul
adalah pertarungan peradaban antara barat dengan Islam. Dalam suatu forum di
Malang Gus Dur pernah berpesan, sebisa mungkin penggunaan / pelabelan nama
Islam di hindari, supaya kita tidak masuk dalam setting Hantington. Indonesia
sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia, saat ini sedang dipaksa
untuk mengikuti desain diatas. Maka tidak mengherankan sekarang banyak kita
jumpai kelompok atau organisasi Islam di Indonesia yang menginginkan formalisasi syariat Islam di
Indonesia, dimana pelakunya dalam berpenampilan cukup mencolok, yang laki laki,
memakai jenggot, jidat hitam, celana congkrang dan sesekali memakai jubah dan
yang perempuan memakai jilbab besar, pakai baju ‘hamil’ dan kadang kita temui
memakai cadar. Yang lebih tidak nyambung itu dilakukan ketika issue tentang
terorisme sedang maraknya disuarakan oleh Amerika dan negara pendukungnya (baca
: barat). Lucu memang, serangan terorisme banyak dilakukan di Amerika (WTC),
Afganistan, dan Irak akan tetapi kampanye anti terorisme sangat getol dilakukan
di Indonesia.
NU
sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia menjadi bidikan utama kelompok
‘aneh-aneh’ diatas. Sedangkan basis umat Islam (baca : NU) ada di masjid
masjid. Sudah banyak masjid yang selama ini di dikelola warga NU, sekarang
lepas dan di ghosob oleh kelompok- kelompok diatas. Disisi lain, anak muda NU
sekarang banyak yang mulai melupakan masjid dan musholla. Akan sangat mudah
bila sebuah rumah ditinggal penghuninya kemudian ada orang datang dan menghuni
rumah tersebut.
Menyelamatkan
masjid dalam konteks ini tidak sekedar mempertahankan apa yang dimiliki oleh NU
saat ini akan tetapi adalah mempertahankan dan menyelamatkan NKRI dari kepungan
Kapitalisme Global.
Menggelola
remaja masjid sebagai basis organisasi IPNU di tingkat ranting juga sebagai
pilihan strategi ketika kita memutuskan kembali ke Pelajar, akan tetapi secara
Infrastruktur kaderisasi (guru, kurikulum, strategi) yang kita miliki untuk
masuk ke sekolah terutama sekolah umum belum memadai dan masih kalah jauh
dibandingkan dengan organisasi lain (PII, IRM, dan KAPPI). Pelajar atau remaja
akan tertarik pada suatu kegiatan atau aktifitas apabila kegiatan tersebut
memberi kontribusi bagi pengembangan dirinya, memberi tantangan, menyenangkan,
dan variatif. Tantangan kita sekarang adalah bagaimana kita mampu menjadikan
organisasi remaja masjid menjadi organisasi yang menarik bagi setiap remaja
Islam yang ada di sekitar masjid. Sanggupkah???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar